Program Kesehatan Di Jawa Timur
a. Upaya Kesehatan
Pada hakekatnya Pelayanan Kesehatan di
Jawa Timur belum menyeluruh, merata, bermutu dan terjangkau secara
berkesinambungan, karena pelayanan kesehatan yang diberikan belum
memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat. Disamping itu pelayanan kesehatan belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat karena penyebarluasan tenaga kesehatan yang
belum merata, serta peralatan kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan lainnya
masih belum mencukupi. Dilain pihak upaya kesehatan yang kompleks belum
sepenuhnya mempertimbangkan pola lingkungan, pembiayaan dan manajemen yang
berpengaruh pada pembangunan kesehatan.
Puskesmas sebagai penanggung jawab dan
pelaksana upaya kesehatan masyarakat strata pertama di wilayah kerjanya yang
terdepan mempunyai beban yang berat dalam melaksanakan fungsinya. Puskesmas
yang di tahun 2006 berjumlah 927, masih belum mencukupi dibanding dengan jumlah
penduduk sesuai konsep wilayah (1 puskesmas untuk 30.000 penduduk), sehingga
masih diperlukan sekitar 200 puskesmas untuk Jawa Timur.
Jawa
Timur merupakan daerah yang rawan dengan berbagai jenis bencana baik bencana
karena alam ( banjir, tanah longsor, gunung meletus, kekeringan, luapan lumpur
panas, dan lain - lain) maupun bencana yang ditimbulkan karena manusia (
kecelakaan lalu lintas, kebakaran, ledakan pabrik, dan lain - lain). Pada tahun 2005 terjadi 90 kejadian bencana
dengan korban 11 orang meninggal dunia dan 1 luka - luka. Sedangkan pada tahun
2006 terjadi 15 kejadian bencana dengan
korban meninggal sebanyak 103 orang dan 66 luka - luka. Jumlah korban yang
banyak karena terseret banjir bandang.
Masih tingginya korban yang luka maupun
meninggal akibat kejadian bencana, secara umum menunjukkan kurang optimalnya
sistem manajemen penanganan bencana. Walaupun beberapa kabupaten/kota telah
mempunyai Tim Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan yang merupakan bagian Tim
Satlak di kabupaten/kota, namun dalam implementasinya masih belum optimal
Indikator keberhasilan derajat kesehatan
masyarakat masih belum menggembirakan. Hal ini berdasarkan data Sensus Tahun
2000 dan Susenas Tahun 2000, bahwa Angka Kematian Ibu (AKI)168 per 100.000
Kelahiran Hidup, dan Angka Kematian Bayi (AKB) 34 per 1000 Kelahiran Hidup dan
Umur Harapan Hidup (UHH) 68,47 tahun (BPS 2005). Hal ini sangat dipengaruhi
oleh Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan
Upaya Kesehatan Kegawatdaruratan (UKKD). Pelayanan kesehatan ibu dan anak serta
Keluarga Berencana (KB) belum mencapai target Standar Pelayanan Minimal (SPM). Persentase
Pemeriksaan Ibu Hamil Empat Kali (K4) 79,45% ( tahun 2005) ; Persalinan Nakes
sebesar 86.10% ( tahun 2005 ); Kunjungan Neonatal Tiga Kali (KN2) sebesar 87,61% ( tahun 2005 ); Peserta KB Baru
sebesar 70.15% ( tahun 2005 ). Masalah
gizi buruk masih cukup banyak sekitar 2,2 % pada balita, sedangkan anemia gizi
terjadi sekitar 29,9 % ibu hamil. Jawa Timur juga masih mempunyai masalah
Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) dengan Total Goiter Rate (TGR) 16,3 % pada tahun 1999 dan meningkat
menjadi 25,5 % tahun 2004. Kekurangan vitamin A dikhawatirkan juga masih
menjadi masalah walaupun belum tersedia data terbaru yang mendukung. Oleh
karena itu masih diperlukan kegiatan terobosan dengan memberdayakan masyarakat
dan pelatihan teknis bagi petugas kesehatan di lapangan.
Sampai
Tahun 2005, Universal Child Immunization
(UCI) desa baru mencapai 40,4% sehingga masih ada kantong-kantong yang rawan
untuk terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi ( PD3I ). Disamping
itu dengan semakin meningkatnya penggunaan vaksin untuk imunisasi, kemungkinan Kejadian
Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) juga meningkat. Ditemukannya vaksin beku di lapangan merupakan
indikator bahwa kualitas dan potensi vaksin masih memerlukan perhatian yang
serius.
KLB penyakit maupun keracunan makanan
masih sering terjadi di Jawa Timur dan baru sekitar 60% yang dilaporkan ke
propinsi. Dengan lemahnya Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) di kabupaten/kota
dikhawatirkan KLB yang terjadi tidak dapat segera terdeteksi dan ditanggulangi
dengan benar.
Pada
beberapa tahun terakhir ini telah terjadi transisi epidemiologi pola penyakit
di masyarakat, penyakit infeksi yang berbasis lingkungan seperti Tuberkulosis
(TB), Malaria, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Diare, Kusta, Demam
Berdarah Dengue (DBD), Chikungunya dan lainnya belum tuntas dapat
ditanggulangi, penyakit non-infeksi seperti Hipertensi, Stroke, Diabetes
Mellitus (DM), Jantung, dan lainnya cenderung meningkat dengan cepat, ditambah
dengan munculnya penyakit-penyakit infeksi seperti SARS, Flu Burung, Anthrax
dan lain-lain. Hal ini akan memberi
beban ganda bagi pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan menanggulanginya.
Terjadi peningkatan insiden rate penyakit DBD dari 12,01 per 100.000 penduduk pada
tahun 2003 menjadi 23,50 per 100.000 penduduk pada tahun 2004 dan pada tahun
2005 menjadi 43,06 per 100.000 penduduk. Salah satu penyebabnya adalah
kepadatan vektor penular masih cukup tinggi, dan gerakan Pemberantasan Sarang
Nyamuk (PSN) masih belum memasyarakat. Pada awal tahun 2004 Gubernur Jawa Timur
mencanangkan pembentukan Juru Pemantau Jentik (jumantik) di seluruh wilayah
Jawa Timur sebagai upaya terobosan untuk melakukan kewaspadaan dini terjadinya
peningkatan jumlah penderita DBD pada masa mendatang.
Propinsi
Jawa Timur merupakan urutan ke dua untuk kasus HIV/AIDS (Human Immuno Defisiency Virus/Acquired Immuno Defisiency Syndroms)
di Indonesia dan diperkirakan ada 17 sampai
44 ribu kasus HIV. Di 12 kabupaten/kota sudah masuk ke level
konsentrasi, sehingga penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS
harus lebih ditingkatkan dan diperluas jangkauan programnya. Dari kasus AIDS yang dilaporkan 55% ber faktor
risiko pengguna narkoba suntik (penasun).
Masalah kesehatan lingkungan yang sangat
mendasar antara lain pada tahun 2005
pemanfaatan air bersih yang sehat masih berkisar 87,5% dan
penggunaan jamban masih sekitar 59,5%,
sedangkan pencemaran udara dan kebisingan di permukiman cenderung meningkat.
Disamping itu pembuangan limbah industri yang tidak terkontrol terhadap badan
air menyebabkan terjadinya akumulasi logam-logam berat yang terkandung di
dalamnya.
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai
penanggungjawab upaya kesehatan masyarakat (UKM) strata kedua telah banyak
mengembangkan puskesmas rawat inap sebagai sarana rujukan dan puskesmas
spesifik sesuai spesifikasi yang ada di wilayah kerja seperti puskesmas
nelayan, puskesmas jalan raya dan lain-lain.
Penyelenggaraan
upaya kesehatan di wilayah kabupaten/kota direncanakan, dikendalikan, diawasi
dan dipertanggung jawabkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Banyak pedoman dan produk hukum tentang
penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat yang telah disusun dan dipergunakan
sebagai petunjuk teknis atau acuan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan di
kabupaten/kota antara lain Keputusan Gubernur Nomor 27 Tahun 2004 tentang
Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan, Perda Nomor 5 Tahun 2004
tentang HIV/AIDS.
Upaya kesehatan perorangan (UKP) strata
pertama tersebar sampai ke pelosok,
mulai dari pelayanan pengobatan tradisional, praktik bidan, praktik
perawat, praktik dokter / dokter gigi,
puskesmas, dan lain-lain.
Pemanfaatan
Rumah Sakit (RS) sebagai UKP strata kedua seperti RS pemerintah, swasta,
TNI/POLRI dan BUMN masih belum optimal
( rata-rata BOR sebesar 54,77% ) karena pelayanan yang diberikan belum
memadai. Disisi lain diperlukan adanya
bentuk pelayanan unggulan sebagai pusat rujukan UKP strata ke tiga karena
adanya kecenderungan meningkatnya
penyakit degeneratif (jantung, hipertensi, diabetes, dan lainya)
Berdasarkan standar klasifikasi
pelayanan gawat darurat di rumah sakit telah ditetapkan klasifikasi Unit
Pelayanan Gawat Darurat yang terdiri dari Upaya Pelayanan Gawat Darurat Dasar,
Pratama, Madya dan Utama yang nantinya akan sangat berguna untuk menentukan
klasifikasi unit pelayanan gawat darurat rumah sakit di Propinsi Jawa Timur,
sehingga akan didapatkan pemetaan klasifikasi pelayanan gawat darurat yang
memudahkan pola/sistem rujukan kasus gawat darurat. Disamping itu telah
dikembangkan Desa Siaga, yang merupakan desa yang memiliki kesiapan sumberdaya
dan kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan bencana secara
mandiri dalam rangka mewujudkan Desa
Sehat. Dengan adanya Desa Sehat, masyarakat menjadi sehat , peduli dan tanggap
terhadap masalah-masalah kesehatan. Untuk tujuan pengembangan Desa Siaga semua
petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan dan kader dilatih untuk
melakukan tindakan kegawatdaruratan bencana serta akhir tahun 2006 Jawa Timur
mempunyai tugas mengembangkan 5.000 Desa Siaga yang terbagi dalam berbagai
tingkatan mulai Bina , Tumbuh, Kembang dan Paripurna.
b. Pembiayaan
Kesehatan
Penggalian dana sektor
kesehatan diperoleh dari sumber dana APBD, APBN atau sumber lain. Dana yang bersumber dari APBD Propinsi Tahun 2006 untuk kesehatan sebesar
Rp. 170.332.933.000,- atau sekitar 6,96 % dari total APBD Propinsi Tahun 2006 (
Rp. 2.448.712.621.974,- ). APBD propinsi untuk kesehatan tersebut lebih rendah dibandingkan dengan APBN
sebesar Rp 412.858.622.000,-. Sedangkan data total APBD Tahun 2006 di 38 kabupaten/kota kurang lebih Rp
250.000.000.000,-.
Pada
umumnya anggaran tersebut digunakan untuk mendukung pelayanan kesehatan di kabupaten/kota
secara langsung maupun tidak langsung. Namun
permasalahannya adalah mekanisme perencanaan melalui sitem musrenbang belum
sepenuhnya dapat mensinergikan antara APBN dan APBD sehingga relatif belum sinkron atau belum
saling mendukung satu sama lain sehingga dalam pemanfaatannya kemungkinan
terjadi tumpang tindih antar kegiatan
Pembiayaan
kesehatan dari masyarakat dan perorangan termasuk swasta sampai dengan saat ini cukup besar,
namun belum dapat teridentifikasi secara jelas sehingga kontribusinya dalam
pembangunan kesehatan belum dapat diperhitungkan secara kuantitatif.
Pengalokasian
dana dari pemerintah belum sepenuhnya mengacu kepada kebijakan atau kesepakatan
yang berlaku. Sebagai contoh anggaran tersebut lebih diprioritaskan untuk upaya
kuratif yang tidak sesuai dengan Paradigma Sehat dan Standar Pelayanan Monimal
(SPM). Disamping itu anggaran yang ada
cenderung untuk pembelanjaan upaya yang bersifat investasi dan
operasional, namun belum memperhitungkan biaya pemeliharaan.
Komitmen nasional maupun daerah untuk
pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin
perlu diprioritaskan, dan pada tahun 2006 alokasi dari pusat relatif
meningkat dibanding tahun sebelumnya. Kebijakan nasional telah membebaskan
biaya pengobatan di rawat jalan dan perawatan di kelas III rumah sakit serta di
puskesmas. Disamping itu sejak semester II tahun 2005 telah dialokasikan biaya
untuk operasional puskesmas meskipun masih relatif kecil serta alokasi dana
untuk safeguarding dari Program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin
(ASKESKIN).
Saat ini di Jawa Timur selain PT. ASKES
Persero, Jamsostek, ASABRI dan Taspen yang pembentukannya berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP) terdapat 5 Badan Pelaksana (Bapel) berizin Departemen Kesehatan
dan PraBapel yang telah menyelenggarakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat (JPKM). Namun saat ini alokasinya masih relatif kecil. Masyarakat
yang ikut dalam jaminan pemeliharaan kesehatan masih sangat terbatas atau
sekitar 32% di Jawa Timur dimana sebagian besar adalah masyarakat miskin yang
dijamin pemerintah.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, perubahan pola penyakit dan
mobilitas penduduk akan berdampak pada peningkatan pembiayaan kesehatan.
Disamping itu peningkatan angka kesakitan terutama penyakit menular antara lain
TBC, DBD, HIV/AIDS belum dapat dikendalikan dengan baik. Hal ini akan
mengakibatkan meningkatnya beban pembiayaan pemerintah dan masyarakat. Disamping itu pembangunan berwawasan
kesehatan belum sepenuhnya dilaksanakan karena belum memperhitungkan risiko
terhadap lingkungan maupun kesehatan yang pada akhirnya juga akan meningkatkan
pembiayaan kesehatan.
Secara
geografis Jawa Timur merupakan daerah rawan bencana dan rawan kecelakaan.
Sampai saai ini pembelanjaan untuk upaya kesehatan kegawatdarutan belum
terencana dan terkoordinasi dengan baik, sehingga mempengaruhi pembelanjaan
lain yang sudah direncanakan.
Pembiayaan
peningkatan sumberdaya manusia, penyediaan obat dan perbekalan kesehatan dan
subsistem lain sebagai pendukung utama dalam upaya kesehatan belum mencukupi.
c. Sumberdaya Manusia Kesehatan
Perencanaan ketenegagaan
merupakan upaya cermat untuk mengindentifikasi kebutuhan komposisi tenaga
kesehatan, namun saat ini belum dapat dilaksanakan sesuai dengan standar kebutuhan
pembangunan kesehatan, karena belum adanya sistem informasi manajemen SDM
Kesehatan yang memadai.
Hal ini disebabkan masih lemahnya koordinasi dalam pengelolaan data SDM
Kesehatan antara propinsi, kabupaten/kota, institusi pendidikan serta organisasi profesi.
Institusi
pendidikan tenaga kesehatan di Jawa Timur saat ini jumlah dan jenisnya belum
berorientasi pada kebutuhan pembangunan kesehatan, sehingga jumlah kelulusan
tenaga kesehatan jenis tertentu lebih
banyak / kurang dibanding dengan kebutuhan yang berakibat menumpuknya kelulusan dan
disisi lain kekurangan tenaga kesehatan.
Penyerapan
lulusan pendidikan tenaga kesehatan masih rendah, karena lemahnya kemampuan
daya serap pasar dalam negeri, sedangkan pengiriman dan pemanfaatan tenaga
kesehatan ke luar negeri belum memenuhi standar kompetensi negara tujuan. Untuk
mengatasi hal ini perlu adanya pengaturan dan koordinasi yang lebih intensif
tentang pendirian dan peningkatan kualitas institusi pendidikan tenaga kesehatan
dengan pihak-pihak terkait. Adanya
kompetisi dalam era pasar bebas sebagai akibat dari globalisasi harus diantisipasi
dengan peningkatan mutu dan profesionalisme.
SDM Kesehatan dan menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
Pendayagunaan
SDM kesehatan belum sesuai dengan kebutuhan, hal ini disebabkan karena
keterbatasan pemerintah dalam mengangkat SDM Kesehatan baik dalam hal jumlah
mapupun jenis sebagai PNS Kesehatan, Pegawai Tidak Tetap (PTT). Sedangkan
penempatan tenaga kesehatan di daerah-daerah tertentu belum merata dalam
jumlah, jenis dan kualifikasi yang dibutuhkan. Sebagai contoh, di Kabupaten
Sampang 1 tenaga medis melayani 14.285 penduduk, sedangkan di Kota Madiun 1
tenaga medis melayani 2.857 penduduk.
Pemanfaatan tenaga kesehatan di sarana
pelayanan kesehatan belum sepenuhnya sesuai dengan latar belakang
pendidikannya, sehingga perlu penataan kembali pemanfaatan tenaga kesehatan
sesuai dengan fungsinya.
Kebijakan peningkatan karier SDM
Kesehatan dikelompokkan per sasaran karier, jalur karier, perencanaan karier,
pengembangan karier. Adapun jalur karier
perlu dikembangkan secara optimal antara lain melalui jalur swasta atau
pengangkatan dalam jabatan fungsional. Sedangkan untuk effisiensi yang memacu
penampilan kerja SDM Kesehatan diperlukan sistem pengembangan karier yang
merangsang kompetisi yang sehat dan rasa keadilan yang terbuka.
Penempatan, pembinaan, pengawasan SDM
Kesehatan di sektor swasta pada saat ini belum optimal, disebabkan karena masih
lemahnya sistem yang mengatur dan tim yang menangani.
d.
Obat dan Perbekalan Kesehatan
Pada era otonomi daerah, pengelolaan obat dan perbekalan
kesehatan yang semula menjadi
tanggung jawab dan kewenangan
Gudang Farmasi Kabupaten/Kota
(GFK) dengan tenaga yang berkompetensi dan profesional, menjadi tidak menentu
dan beragam bentuknya. Pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang saat ini
ditangani kabupaten/kota secara langsung belum didukung tenaga yang sesuai dan
belum terkoordinasi.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) belum ditindaklanjuti
dengan Daftar Obat Esensial Propinsi (DOEP) sebagai pedoman dalam pengadaan
obat esensial kabupaten/kota.
Tingkat ketersediaan obat pada tahun 2005 sudah tercapai 89,58% dari target SPM 100%. Pengadaan
obat essensial pada tahun 2005 sebesar 91,30% dari target 100%. Pengadaan obat
generik tahun 2005 mencapai 86,21% dari target 100%. Pelayanan penggunaan obat
generik di sarana pelayanan kesehatan pemerintah tahun 2005 sebesar 63,64% dari
target 90%. Hal tersebut belum memenuhi Peraturan Menteri Kesehatan Repbublik Indonesia
Nomor 085 Tahun 1989 tentang Kewajiban Menulis Resep dan atau Menggunakan Obat
Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.
Obat dan
perbekalan kesehatan yang telah rusak, kadaluwarsa dan tidak layak dikonsumsi
pada tahun 2004 telah dimusnahkan sebanyak
54 item dari 77 item yang ada di gudang propinsi.
Produsen
obat dan perbekalan kesehatan dalam pendistribusiannya kepada konsumen masih
ada yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan
penatalaksanaan pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang meliputi
tatacara, sarana dan prasarana penunjang belum terkoordinasi antara pemerintah
propinsi dengan kabupaten/kota.
Pengawasan dan
pengamanan mutu obat dan perbekalan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah,
organisasi profesi, dan masyarakat belum
optimal serta terjadi tumpang tindih kewenangan antara Balai Besar Pengawas
Obat dan Makanan dengan pemerintah propinsi.
Pelayanan obat belum sepenuhnya mengacu
pada Penggunaan Obat Secara Rasional (POSR) yang diikuti dengan komunikasi
informasi dan edukasi.
Kasus keracunan obat, perbekalan kesehatan
dan makanan yang terjadi pada tahun 2004 terjadi 41 kasus dengan jumlah korban 1.503
orang. Pada Tahun 2005 terjadi 40 kasus dengan jumlah penderita 963 orang.
Masyarakat sampai saat ini belum memanfaatkan pelayanan Sentra Informasi Keracunan (SIKer) secara
optimal.
Penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan
Zat Adiktif (Napza) lainnya merupakan masalah nasional yang menimbulkan
kerugian di segala bidang termasuk kesehatan. Di Jawa Timur dilakukan upaya
pencegahan dan penanggulangan secara terpadu dengan melibatkan berbagai unsur.
Penyuluhan
dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Napza (P3-Napza)
berbasis masyarakat dalam SPM
ditargetkan sebesar 15%, pada tahun 2005 dicapai 9,19%. Pencegahan
kebocoran peredaran narkotika psikotropika sesuai dengan peraturan perundang-undangan
melalui program Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP).
Budidaya dan pemanfaatan obat asli
Indonesia belum dikembangan secara optimal. Kerja sama pengembangan dan
pemanfaatan obat asli Indonesia telah dilakukan melalui suatu program
penelitian dan pengembangan dengan melibatkan berbagai unsur terkait, antara
lain Balai Materia Medika, Sentra
Penelitian Pengembangan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T), perguruan tinggi,
pihak swasta dan peran serta masyarakat.
Penyimpanan obat dan
perbekalan kesehatan masih didapati bercampur dengan perbekalan perkantoran dan
bukan pada gudang khusus, serta belum dikelola oleh tenaga yang berkompeten dan
profesional.
Masyarakat
yang memanfaatkan SIKer untuk memperoleh informasi tentang efek samping dan
keracunan obat, perbekalan kesehatan serta makanan, untuk itu pada tahun 2005 masyarakat menyampaikan 26
pertanyaan dan tahun 2006 sebanyak 34
pertanyaan.
e. Pemberdayaan
Masyarakat
Keberhasilan pembangunan kesehatan di
Jawa Timur tidak terlepas dari partisipasi masyarakat. Untuk itu, berbagai bentuk upaya kesehatan
berbasis masyarakat banyak
tumbuh dan berkembang, antara lain Pos Pelayanan
Terpadu (Posyandu) pada tahun 2005 berjumlah 43.672 buah yang berarti rata-rata
1 posyandu melayani 800 penduduk, dari rasio ideal 1 posyandu untuk 750
penduduk. Strata posyandu terbanyak adalah tingkat madya (41,63%). Sedangkan posyandu
purnama mandiri kini mencapai 27,79%.
Kader
sebagai penggerak posyandu saat ini juga
makin menurun jumlahnya. Saat ini rata-rata rasio kader terhadap posyandu
adalah 4,35 orang yang idealnya 1
Posyandu dikelola 5 orang kader.
Selain itu pada tahun 2005 terdapat 4.977 Pondok Bersalin Desa (Polindes), hal ini
berarti telah memenuhi 61,60% dari jumlah
desa di Jawa Timur. Walaupun secara kuantitatif jumlah polindes tersebut sudah
mencukupi, secara kualitatif kondisinya belum seluruhnya memenuhi syarat
sebagai tempat pertolongan persalinan. Hal ini tergambar dari tingkat perkembangan polindes yang terbanyak
masih pada tingkat pratama sebesar 51,88%. Pemenuhan
prasarana-sarana Polindes sesuai standar secara bertahap dilakukan dengan dana
APBD propinsi, APBD kabupaten/kota, kas desa dan sebagian dari upaya mandiri
dari bidan di desa.
Pada saat
Hari Kesehatan Nasional Tahun 2006 , Propinsi Jawa Timur telah mulai
mengembangkan 5.000 desa siaga yan merupakan wujud kepedulian- kesiapsiagaan
masyarakat dalam menanggapi masalah terkait kesehatan , bencana dan
kegawatdaruratan yang lain.
Untuk mendukung upaya pengobatan
tradisional di masyarakat hingga tahun 2005 telah ada 23.799 pengobat tradisional yang tercatat, di mana pada
tahun 2004 hanya
tercatat 22.715 orang.
Dengan demikian rasio pengobat tradisional dibanding penduduk adalah 1 :
1.498. Pengobat tradisional terbanyak
yang tercatat adalah jamu gendong sebanyak 6.605 orang (27,77%). Terdapat 3.136 toga percontohan di desa (37,02%) dari
seluruh desa di Jawa Timur tidak ada
perbedaan dibandingkan tahun sebelumnya (39,13%). Hal ini menunjukkan
meningkatnya partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan secara tradisional.
Hasil survei Perilaku Hidup Bersih dan
Sehat (PHBS) dengan 10 indikator sesuai SPM (Standar Pelayananan Minimal) menunjukkan
1,78% Rumah Tangga Sehat (tahun 2004), sedangkan pada tahun 2005 meningkat
menjadi 7% dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 12,2%.
Pembinaan
Kader Generasi Muda melalui gerakan Pramuka Satuan Karya Bakti Husada (SBH)
pada tahun 2005 telah berkembang di
293 kecamatan atau kuartir ranting.
Jumlah tersebut merupakan 44,8% dari kecamatan di Jawa Timur. Adapun
jumlah anggotanya sebanyak 24.280
orang atau rata-rata 83 orang di tiap-tiap kuartir ranting. Kegiatan SBH
ini utamanya di daerah rural/pedesaan telah secara nyata memberikan sumbangan
bagi keberhasilan pembinaan generasi muda di bidang kesehatan.
Pos
Upaya Kesehatan Kerja (UKK) baru mencapai
412 buah pada tahun 2005 dengan
jumlah kelompok sebanyak 17.279 dari
jumlah pekerja 353.477 orang. Hal tersebut menggambarkan rata-rata
pekerja dalam satu kelompok berjumlah 20 orang yang idealnya maksimal 15 orang. Intensitas pembinaan UKK masih dibutuhkan karena masih rendahnya
pemahaman masyarakat pekerja terhadap upaya promotif dan preventif kesehatan.
Dalam memberikan pelayanan kepada para
santri di pondok pesantren, pada tahun 2005 telah terbentuk 826 Pos Kesehatan Pesantren
(20.2%) dari 4.075 ponpes yang tercatat
di Dinas Kesehatan se-Jawa Timur dimana
sebagian dikelola oleh dokter. Selain
itu juga telah dikembangkan Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) yang menjadi
pusat upaya – upaya kesehatan di pondok pesantren dengan didukung para Santri
Husada.
Kepesertaan
dana sehat sebagai wujud keberdayaan masyarakat dalam kemandirian pembiayaan kesehatan tahun 2005 telah diikuti oleh 1.110.984 jiwa.
Gambaran ini menunjukkan masih rendahnya pemahaman, keberdayaan masyarakat
dalam penerapan JPKM.
Seiring dengan perkembangan
pembangunan di Jawa Timur tahun 2005 telah tumbuh 203 Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) yang
bergerak di bidang kesehatan serta berbagai yayasan peduli kesehatan
seperti Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, Koalisi Jawa Timur
Sehat, Kelompok Peduli Diabetes, Kelompok
Peduli Kanker, Waria Peduli HIV/ AIDS, Forum Kesehatan Reproduksi serta
berbagai kelompok peduli lainnya yang kini mulai berkembang di Jawa Timur.
Dalam rangka mempercepat
tercapainya Indonesia Sehat pemberdayaan
masyarakat dilaksanakan dalam berbagai bentuk gerakan
seperti: Gerdunas TB, Gerakan PSN dengan
Jumantiknya, Gerakan Sayang Ibu (GSI) dengan 52,62% kecamatan Sayang Ibu
yang berpredikat madya, Aliansi Pita Putih (Kesehatan Ibu),
BPNA (Badan Penanggulangan Narkotika dan AIDS), Forum Kabupaten / Kota Sehat dan
lain sebagainya.
Jaringan
kemitraan antara sektor pemerintah, organisasi profesi, LSM, swasta dan dunia
usaha belum dikembangkan secara optimal, baru terbatas pada penyampaian
informasi, belum ada keterpaduan dalam mencapai tujuan yaitu derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya.
Salah
satu kendala yang banyak mempengaruhi terhadap belum optimalnya pemberdayaan
masyarakat adalah lemahnya tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi di bidang
promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Saat ini di setiap jenjang
pelayanan kesehatan dan administrasi tugas ini dijalankan secara rangkap oleh
petugas yang tidak memliki kompetensi standar.
f. Manajemen
Kesehatan
Kebijakan
desentralisasi memberikan kewenangan kepada daerah untuk menyusun perencanaan
daerah sedangkan propinsi berfungsi sebagai fasilitator. Perencanaan sangat
penting artinya untuk suatu keberhasilan pembangunan kesehatan, namun saat ini
belum terkoordinasi dan tersinkronisasi dengan baik. Pada kenyataannya
perencanaan belum sepenuhnya terpadu dan mengacu kepada kebijakan yang berlaku
dan kebutuhan spesifik daerah. Pencapaian kinerja pembangunan kesehatan
pelaksanaan dan pengendaliannya belum mengacu pada perencanaan yang telah
disusun dan SPM Kesehatan Kabupaten/Kota.
Laporan dari masing-masing
kabupaten/kota belum semuanya dapat dipenuhi, secara kuantitas maupun kualitas
karena dalam era desentralisasi tidak ada kewajiban kabupaten/kota untuk
menyampaikan laporan ke Dinas Kesehatan Propinsi.
Pengawasan Melekat (Waskat), Laporan
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), sebagai bagian
pertanggungjawaban pembangunan kesehatan belum dilakukan secara optimal.
Sistem
informasi kesehatan masih terfragmentasi dan identik dengan pencatatan dan
pelaporan, dimana banyak sekali format pencatatan dan pelaporan yang harus
dikerjakan oleh puskesmas dan rumah sakit. Profil kesehatan kab/kota maupun propinsi sudah berjalan sejak tahun
1990, namun belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai dasar pengambilan
keputusan. Inpres RI. No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Goverment untuk mendukung upaya
pemanfaatan teknologi informasi diharapkan dapat meningkatkan efisiensi,
efektivitas, transparansi, serta akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan.
Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 36 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan
Sistem Informasi dan Telematika Propinsi Jawa Timur adalah upaya untuk mempercepat
pengembangan sistem informasi berbasis komputer. Dinas Kesehatan Propinsi
sedang mengembangkan jaringan sistem informasi internal maupun eksternal
melalui teknologi informasi (file
transfer protokol, Website, LAN) dan penetapan perangkat data minimal
pada setiap jenjang administrasi.
Penelitian dan pengembangan Iptek belum dilaksanakan secara
optimal dan hasilnya belum dimanfaatkan untuk perencanaan pengembangan program, karena penelitian dan
pengembangan kesehatan dilakukan oleh berbagai program dan sektor yang belum
terkoordinasi. Disamping itu pengelolaan dan penyebarluasan hasil penelitian
masih terbatas, karena terbatasnya sumber daya sehingga sulit diakses oleh
pihak yang membutuhkan.
Kebijakan otonomi daerah berakibat adanya
perubahan kewenangan daerah di bidang kesehatan, sehingga memerlukan
penyesuaian produk hukum daerah (Perda) untuk mendukung penyelenggaraan upaya
kesehatan. Adanya kecenderungan gugatan
dan tuntutan hukum berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan, karena
belum dilakukan penyuluhan di bidang hukum kesehatan yang memadai.
Ketidaksesuaian
produk hukum daerah di bidang kesehatan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku dapat diakibatkan karena belum
adanya jaringan informasi
dan dokumentasi hukum
bidang kesehatan yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam penyusunan produk hukum di bidang
kesehatan.
Penegakan hukum di bidang kesehatan belum
dapat dilaksanakan secara optimal, karena belum berfungsinya peran Penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan belum adanya badan khusus yang menangani.
No comments:
Post a Comment