Wednesday, 5 June 2013

Program Kesehatan Jawa Timur

Program Kesehatan Di Jawa Timur
     a.          Upaya Kesehatan
Pada hakekatnya Pelayanan Kesehatan di Jawa Timur belum menyeluruh, merata, bermutu dan     terjangkau    secara   berkesinambungan,    karena    pelayanan kesehatan yang diberikan belum memenuhi harapan dan tuntutan masyarakat.  Disamping itu pelayanan  kesehatan belum menjangkau seluruh lapisan masyarakat  karena penyebarluasan tenaga kesehatan yang belum merata, serta peralatan kesehatan, obat dan perbekalan kesehatan lainnya masih belum mencukupi. Dilain pihak upaya kesehatan yang kompleks belum sepenuhnya mempertimbangkan pola lingkungan, pembiayaan dan manajemen yang berpengaruh pada pembangunan kesehatan.
      Puskesmas sebagai penanggung jawab dan pelaksana upaya kesehatan masyarakat strata pertama di wilayah kerjanya yang terdepan mempunyai beban yang berat dalam melaksanakan fungsinya. Puskesmas yang di tahun 2006 berjumlah 927, masih belum mencukupi dibanding dengan jumlah penduduk sesuai konsep wilayah (1 puskesmas untuk 30.000 penduduk), sehingga masih diperlukan sekitar 200 puskesmas untuk Jawa Timur.
      Jawa Timur merupakan daerah yang rawan dengan berbagai jenis bencana baik bencana karena alam ( banjir, tanah longsor, gunung meletus, kekeringan, luapan lumpur panas, dan lain - lain) maupun bencana yang ditimbulkan karena manusia ( kecelakaan lalu lintas, kebakaran, ledakan pabrik, dan lain - lain).  Pada tahun 2005 terjadi 90 kejadian bencana dengan korban 11 orang meninggal dunia dan 1 luka - luka. Sedangkan pada tahun 2006  terjadi 15 kejadian bencana dengan korban meninggal sebanyak 103 orang dan 66 luka - luka. Jumlah korban yang banyak karena terseret banjir bandang.
Masih tingginya korban yang luka maupun meninggal akibat kejadian bencana, secara umum menunjukkan kurang optimalnya sistem manajemen penanganan bencana. Walaupun beberapa kabupaten/kota telah mempunyai Tim Penanggulangan Bencana Bidang Kesehatan yang merupakan bagian Tim Satlak di kabupaten/kota, namun dalam implementasinya masih belum optimal
               Indikator keberhasilan derajat kesehatan masyarakat masih belum menggembirakan. Hal ini berdasarkan data Sensus Tahun 2000 dan Susenas Tahun 2000, bahwa Angka Kematian Ibu (AKI)168 per 100.000 Kelahiran Hidup, dan Angka Kematian Bayi (AKB) 34 per 1000 Kelahiran Hidup dan Umur Harapan Hidup (UHH) 68,47 tahun (BPS 2005). Hal ini sangat dipengaruhi oleh Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM), Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) dan Upaya Kesehatan Kegawatdaruratan (UKKD). Pelayanan kesehatan ibu dan anak serta Keluarga Berencana (KB) belum mencapai target Standar Pelayanan Minimal (SPM). Persentase Pemeriksaan Ibu Hamil Empat Kali (K4) 79,45% ( tahun 2005) ; Persalinan Nakes sebesar 86.10% ( tahun 2005 ); Kunjungan Neonatal Tiga Kali (KN2) sebesar  87,61% ( tahun 2005 ); Peserta KB Baru sebesar  70.15% ( tahun 2005 ). Masalah gizi buruk masih cukup banyak sekitar 2,2 % pada balita, sedangkan anemia gizi terjadi sekitar 29,9 % ibu hamil. Jawa Timur juga masih mempunyai masalah Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) dengan Total Goiter Rate (TGR) 16,3 % pada tahun 1999 dan meningkat menjadi 25,5 % tahun 2004. Kekurangan vitamin A dikhawatirkan juga masih menjadi masalah walaupun belum tersedia data terbaru yang mendukung. Oleh karena itu masih diperlukan kegiatan terobosan dengan memberdayakan masyarakat dan pelatihan teknis bagi petugas kesehatan di lapangan.
               Sampai Tahun 2005, Universal Child Immunization (UCI) desa baru mencapai 40,4% sehingga masih ada kantong-kantong yang rawan untuk terjadinya Kejadian Luar Biasa (KLB) Penyakit yang Dapat Dicegah  Dengan   Imunisasi   ( PD3I ).   Disamping    itu    dengan    semakin meningkatnya penggunaan vaksin untuk imunisasi, kemungkinan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) juga meningkat.  Ditemukannya vaksin beku di lapangan merupakan indikator bahwa kualitas dan potensi vaksin masih memerlukan perhatian yang serius.
       KLB penyakit maupun keracunan makanan masih sering terjadi di Jawa Timur dan baru sekitar 60% yang dilaporkan ke propinsi. Dengan lemahnya Sistem Kewaspadaan Dini (SKD) di kabupaten/kota dikhawatirkan KLB yang terjadi tidak dapat segera terdeteksi dan ditanggulangi dengan benar.
       Pada beberapa tahun terakhir ini telah terjadi transisi epidemiologi pola penyakit di masyarakat, penyakit infeksi yang berbasis lingkungan seperti Tuberkulosis (TB), Malaria, Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Diare, Kusta, Demam Berdarah Dengue (DBD), Chikungunya dan lainnya belum tuntas dapat ditanggulangi, penyakit non-infeksi seperti Hipertensi, Stroke, Diabetes Mellitus (DM), Jantung, dan lainnya cenderung meningkat dengan cepat, ditambah dengan munculnya penyakit-penyakit infeksi seperti SARS, Flu Burung, Anthrax dan lain-lain. Hal ini  akan memberi beban ganda bagi pemerintah dan masyarakat untuk mencegah dan menanggulanginya.
               Terjadi peningkatan insiden rate penyakit DBD dari 12,01 per 100.000 penduduk pada tahun 2003 menjadi 23,50 per 100.000 penduduk pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 menjadi 43,06 per 100.000 penduduk. Salah satu penyebabnya adalah kepadatan vektor penular masih cukup tinggi, dan gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) masih belum memasyarakat. Pada awal tahun 2004 Gubernur Jawa Timur mencanangkan pembentukan Juru Pemantau Jentik (jumantik) di seluruh wilayah Jawa Timur sebagai upaya terobosan untuk melakukan kewaspadaan dini terjadinya peningkatan jumlah penderita DBD pada masa mendatang.
               Propinsi Jawa Timur merupakan urutan ke dua untuk kasus HIV/AIDS (Human Immuno Defisiency Virus/Acquired Immuno Defisiency Syndroms) di Indonesia dan diperkirakan ada 17 sampai  44 ribu kasus HIV. Di 12 kabupaten/kota sudah masuk ke level konsentrasi, sehingga penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS harus lebih ditingkatkan dan diperluas jangkauan programnya.  Dari kasus AIDS yang dilaporkan 55% ber faktor risiko pengguna narkoba suntik (penasun).
               Masalah kesehatan lingkungan yang sangat mendasar antara lain pada tahun 2005  pemanfaatan air bersih yang sehat masih berkisar 87,5% dan penggunaan  jamban masih sekitar 59,5%, sedangkan pencemaran udara dan kebisingan di permukiman cenderung meningkat. Disamping itu pembuangan limbah industri yang tidak terkontrol terhadap badan air menyebabkan terjadinya akumulasi logam-logam berat yang terkandung di dalamnya.
               Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebagai penanggungjawab upaya kesehatan masyarakat (UKM) strata kedua telah banyak mengembangkan puskesmas rawat inap sebagai sarana rujukan dan puskesmas spesifik sesuai spesifikasi yang ada di wilayah kerja seperti puskesmas nelayan, puskesmas jalan raya dan lain-lain.
                    Penyelenggaraan upaya kesehatan di wilayah kabupaten/kota direncanakan, dikendalikan, diawasi dan dipertanggung jawabkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.  Banyak pedoman dan produk hukum tentang penyelenggaraan upaya kesehatan masyarakat yang telah disusun dan dipergunakan sebagai petunjuk teknis atau acuan dalam penyelenggaraan upaya kesehatan di kabupaten/kota antara lain Keputusan Gubernur Nomor 27 Tahun 2004 tentang Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan, Perda Nomor 5 Tahun 2004 tentang HIV/AIDS.         
       Upaya kesehatan perorangan (UKP) strata pertama tersebar sampai ke pelosok,  mulai dari pelayanan pengobatan tradisional, praktik bidan, praktik perawat, praktik dokter / dokter gigi,  puskesmas, dan lain-lain.
       Pemanfaatan Rumah Sakit (RS) sebagai UKP strata kedua seperti RS pemerintah, swasta, TNI/POLRI dan BUMN   masih belum optimal ( rata-rata BOR sebesar 54,77% ) karena pelayanan yang diberikan belum memadai.  Disisi lain diperlukan adanya bentuk pelayanan unggulan sebagai pusat rujukan UKP strata ke tiga karena adanya kecenderungan  meningkatnya penyakit degeneratif (jantung, hipertensi, diabetes, dan lainya)
               Berdasarkan standar klasifikasi pelayanan gawat darurat di rumah sakit telah ditetapkan klasifikasi Unit Pelayanan Gawat Darurat yang terdiri dari Upaya Pelayanan Gawat Darurat Dasar, Pratama, Madya dan Utama yang nantinya akan sangat berguna untuk menentukan klasifikasi unit pelayanan gawat darurat rumah sakit di Propinsi Jawa Timur, sehingga akan didapatkan pemetaan klasifikasi pelayanan gawat darurat yang memudahkan pola/sistem rujukan kasus gawat darurat. Disamping itu telah dikembangkan Desa Siaga, yang merupakan desa yang memiliki kesiapan sumberdaya dan kemampuan untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan bencana secara mandiri  dalam rangka mewujudkan Desa Sehat. Dengan adanya Desa Sehat, masyarakat menjadi sehat , peduli dan tanggap terhadap masalah-masalah kesehatan. Untuk tujuan pengembangan Desa Siaga semua petugas kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan dan kader dilatih untuk melakukan tindakan kegawatdaruratan bencana serta akhir tahun 2006 Jawa Timur mempunyai tugas mengembangkan 5.000 Desa Siaga yang terbagi dalam berbagai tingkatan mulai Bina , Tumbuh, Kembang dan Paripurna.
              
b.      Pembiayaan Kesehatan
Penggalian dana sektor kesehatan diperoleh dari sumber dana APBD, APBN atau sumber lain. Dana  yang bersumber dari APBD  Propinsi Tahun 2006 untuk kesehatan sebesar Rp. 170.332.933.000,- atau sekitar 6,96 % dari total APBD Propinsi Tahun 2006 ( Rp. 2.448.712.621.974,- ).  APBD  propinsi untuk kesehatan  tersebut lebih rendah dibandingkan dengan APBN sebesar Rp 412.858.622.000,-. Sedangkan data total APBD Tahun 2006  di 38 kabupaten/kota kurang lebih Rp 250.000.000.000,-. 
Pada umumnya anggaran tersebut digunakan untuk mendukung pelayanan kesehatan di kabupaten/kota secara langsung maupun tidak langsung.  Namun permasalahannya adalah mekanisme perencanaan melalui sitem musrenbang belum sepenuhnya dapat  mensinergikan  antara APBN dan APBD  sehingga relatif belum sinkron atau belum saling mendukung satu sama lain sehingga dalam pemanfaatannya kemungkinan terjadi tumpang tindih antar kegiatan
Pembiayaan kesehatan dari masyarakat dan perorangan termasuk  swasta sampai dengan saat ini cukup besar, namun belum dapat teridentifikasi secara jelas sehingga kontribusinya dalam pembangunan kesehatan belum dapat diperhitungkan secara kuantitatif.
         Pengalokasian dana dari pemerintah belum sepenuhnya mengacu kepada kebijakan atau kesepakatan yang berlaku. Sebagai contoh anggaran tersebut lebih diprioritaskan untuk upaya kuratif yang tidak sesuai dengan Paradigma Sehat dan Standar Pelayanan Monimal (SPM). Disamping itu anggaran yang ada  cenderung  untuk pembelanjaan  upaya yang bersifat investasi dan operasional, namun belum memperhitungkan biaya pemeliharaan. 
         Komitmen nasional maupun daerah untuk pembiayaan kesehatan bagi keluarga miskin  perlu diprioritaskan, dan pada tahun 2006 alokasi dari pusat relatif meningkat dibanding tahun sebelumnya. Kebijakan nasional telah membebaskan biaya pengobatan di rawat jalan dan perawatan di kelas III rumah sakit serta di puskesmas. Disamping itu sejak semester II tahun 2005 telah dialokasikan biaya untuk operasional puskesmas meskipun masih relatif kecil serta alokasi dana untuk  safeguarding dari Program Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin (ASKESKIN).
         Saat ini di Jawa Timur selain PT. ASKES Persero, Jamsostek, ASABRI dan Taspen yang pembentukannya berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) terdapat 5 Badan Pelaksana (Bapel) berizin Departemen Kesehatan dan PraBapel yang telah menyelenggarakan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Namun saat ini alokasinya masih relatif kecil. Masyarakat yang ikut dalam jaminan pemeliharaan kesehatan masih sangat terbatas atau sekitar 32% di Jawa Timur dimana sebagian besar adalah masyarakat miskin yang dijamin pemerintah. 
         Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, perubahan pola penyakit  dan mobilitas penduduk akan berdampak pada peningkatan pembiayaan kesehatan. Disamping itu peningkatan angka kesakitan terutama penyakit menular antara lain TBC, DBD, HIV/AIDS belum dapat dikendalikan dengan baik. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya beban pembiayaan pemerintah dan masyarakat.  Disamping itu pembangunan berwawasan kesehatan belum sepenuhnya dilaksanakan karena belum memperhitungkan risiko terhadap lingkungan maupun kesehatan yang pada akhirnya juga akan meningkatkan pembiayaan  kesehatan.
         Secara geografis Jawa Timur merupakan daerah rawan bencana dan rawan kecelakaan. Sampai saai ini pembelanjaan untuk upaya kesehatan kegawatdarutan belum terencana dan terkoordinasi dengan baik, sehingga mempengaruhi pembelanjaan lain yang sudah direncanakan. 
         Pembiayaan peningkatan sumberdaya manusia, penyediaan obat dan perbekalan kesehatan dan subsistem lain sebagai pendukung utama dalam upaya kesehatan belum mencukupi.

      c.      Sumberdaya Manusia Kesehatan
Perencanaan ketenegagaan merupakan upaya cermat untuk mengindentifikasi kebutuhan komposisi tenaga kesehatan, namun saat ini belum dapat dilaksanakan sesuai dengan standar kebutuhan pembangunan kesehatan, karena belum adanya sistem informasi manajemen SDM Kesehatan  yang  memadai.  Hal ini disebabkan masih lemahnya koordinasi dalam pengelolaan data SDM Kesehatan antara propinsi, kabupaten/kota, institusi pendidikan serta  organisasi profesi.
         Institusi pendidikan tenaga kesehatan di Jawa Timur saat ini jumlah dan jenisnya belum berorientasi pada kebutuhan pembangunan kesehatan, sehingga jumlah kelulusan tenaga kesehatan jenis tertentu  lebih banyak / kurang  dibanding dengan kebutuhan  yang berakibat menumpuknya kelulusan dan disisi lain kekurangan tenaga kesehatan.
         Penyerapan lulusan pendidikan tenaga kesehatan masih rendah, karena lemahnya kemampuan daya serap pasar dalam negeri, sedangkan pengiriman dan pemanfaatan tenaga kesehatan ke luar negeri belum memenuhi standar kompetensi negara tujuan. Untuk mengatasi hal ini perlu adanya pengaturan dan koordinasi yang lebih intensif tentang pendirian dan peningkatan kualitas institusi pendidikan tenaga kesehatan dengan pihak-pihak terkait.  Adanya kompetisi dalam era pasar bebas sebagai akibat dari globalisasi harus diantisipasi dengan peningkatan mutu dan profesionalisme.  SDM Kesehatan dan menerapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK).
         Pendayagunaan SDM kesehatan belum sesuai dengan kebutuhan, hal ini disebabkan karena keterbatasan pemerintah dalam mengangkat SDM Kesehatan baik dalam hal jumlah mapupun jenis sebagai PNS Kesehatan, Pegawai Tidak Tetap (PTT). Sedangkan penempatan tenaga kesehatan di daerah-daerah tertentu belum merata dalam jumlah, jenis dan kualifikasi yang dibutuhkan. Sebagai contoh, di Kabupaten Sampang 1 tenaga medis melayani 14.285 penduduk, sedangkan di Kota Madiun 1 tenaga medis melayani 2.857 penduduk.
              Pemanfaatan tenaga kesehatan di sarana pelayanan kesehatan belum sepenuhnya sesuai dengan latar belakang pendidikannya, sehingga perlu penataan kembali pemanfaatan tenaga kesehatan sesuai dengan fungsinya.
              Kebijakan peningkatan karier SDM Kesehatan dikelompokkan per sasaran karier, jalur karier, perencanaan karier, pengembangan karier.  Adapun jalur karier perlu dikembangkan secara optimal antara lain melalui jalur swasta atau pengangkatan dalam jabatan fungsional. Sedangkan untuk effisiensi yang memacu penampilan kerja SDM Kesehatan diperlukan sistem pengembangan karier yang merangsang kompetisi yang sehat dan rasa keadilan yang terbuka.     
              Penempatan, pembinaan, pengawasan SDM Kesehatan di sektor swasta pada saat ini belum optimal, disebabkan karena masih lemahnya sistem yang mengatur dan tim yang menangani.

      d.      Obat dan Perbekalan Kesehatan
Pada era otonomi daerah, pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang  semula  menjadi  tanggung jawab  dan  kewenangan  Gudang  Farmasi Kabupaten/Kota (GFK) dengan tenaga yang berkompetensi dan profesional, menjadi tidak menentu dan beragam bentuknya. Pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang saat ini ditangani kabupaten/kota secara langsung belum didukung tenaga yang sesuai dan belum terkoordinasi.
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) belum ditindaklanjuti dengan Daftar Obat Esensial Propinsi (DOEP) sebagai pedoman dalam pengadaan obat esensial kabupaten/kota.
     Tingkat ketersediaan obat pada tahun 2005 sudah tercapai 89,58% dari target SPM 100%. Pengadaan obat essensial pada tahun 2005 sebesar 91,30% dari target 100%. Pengadaan obat generik tahun 2005 mencapai 86,21% dari target 100%. Pelayanan penggunaan obat generik di sarana pelayanan kesehatan pemerintah tahun 2005 sebesar 63,64% dari target 90%. Hal tersebut belum memenuhi Peraturan Menteri Kesehatan Repbublik Indonesia Nomor 085 Tahun 1989 tentang Kewajiban Menulis Resep dan atau Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah.
     Obat dan perbekalan kesehatan yang telah rusak, kadaluwarsa dan tidak layak dikonsumsi pada tahun 2004 telah dimusnahkan sebanyak  54 item dari 77 item yang ada di gudang propinsi.
      Produsen obat dan perbekalan kesehatan dalam pendistribusiannya kepada konsumen masih ada yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan penatalaksanaan pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan yang meliputi tatacara, sarana dan prasarana penunjang belum terkoordinasi antara pemerintah propinsi dengan kabupaten/kota.
     Pengawasan dan pengamanan mutu obat dan perbekalan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, organisasi profesi, dan masyarakat  belum optimal serta terjadi tumpang tindih kewenangan antara Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan dengan pemerintah propinsi.
     Pelayanan obat belum sepenuhnya mengacu pada Penggunaan Obat Secara Rasional (POSR) yang diikuti dengan komunikasi informasi dan edukasi.
     Kasus keracunan obat, perbekalan kesehatan dan makanan yang terjadi  pada tahun 2004  terjadi 41 kasus dengan jumlah korban 1.503 orang. Pada Tahun 2005 terjadi 40 kasus dengan jumlah penderita 963 orang. Masyarakat sampai saat ini belum memanfaatkan pelayanan Sentra Informasi Keracunan (SIKer) secara optimal.
     Penyalahgunaan Narkotika Psikotropika dan Zat Adiktif (Napza) lainnya merupakan masalah nasional yang menimbulkan kerugian di segala bidang termasuk kesehatan. Di Jawa Timur dilakukan upaya pencegahan dan penanggulangan secara terpadu dengan melibatkan berbagai unsur.
Penyuluhan dalam rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyalahgunaan Napza (P3-Napza) berbasis masyarakat dalam SPM  ditargetkan sebesar 15%, pada tahun 2005 dicapai 9,19%. Pencegahan kebocoran peredaran narkotika psikotropika sesuai dengan peraturan perundang-undangan melalui program Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika (SIPNAP).
     Budidaya dan pemanfaatan obat asli Indonesia belum dikembangan secara optimal. Kerja sama pengembangan dan pemanfaatan obat asli Indonesia telah dilakukan melalui suatu program penelitian dan pengembangan dengan melibatkan berbagai unsur terkait, antara lain  Balai Materia Medika, Sentra Penelitian Pengembangan Pengobatan Tradisional (Sentra P3T), perguruan tinggi, pihak swasta dan peran serta masyarakat. 
Penyimpanan obat dan perbekalan kesehatan masih didapati bercampur dengan perbekalan perkantoran dan bukan pada gudang khusus, serta belum dikelola oleh tenaga yang berkompeten dan profesional.
Masyarakat yang memanfaatkan SIKer untuk memperoleh informasi tentang efek samping dan keracunan obat, perbekalan kesehatan serta makanan, untuk itu  pada tahun 2005 masyarakat menyampaikan 26 pertanyaan dan tahun 2006 sebanyak  34 pertanyaan.

e.      Pemberdayaan Masyarakat
Keberhasilan pembangunan kesehatan di Jawa Timur tidak terlepas dari partisipasi masyarakat.  Untuk itu, berbagai bentuk upaya kesehatan berbasis    masyarakat   banyak   tumbuh   dan   berkembang, antara lain Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) pada tahun 2005 berjumlah 43.672 buah yang berarti rata-rata 1 posyandu melayani 800 penduduk, dari rasio ideal 1 posyandu untuk 750 penduduk.  Strata posyandu  terbanyak adalah  tingkat madya (41,63%). Sedangkan posyandu purnama mandiri kini mencapai 27,79%. 
         Kader sebagai penggerak posyandu  saat ini juga makin menurun jumlahnya. Saat ini rata-rata rasio kader terhadap posyandu adalah     4,35 orang yang idealnya 1 Posyandu  dikelola 5 orang kader. 
         Selain itu pada tahun 2005 terdapat 4.977  Pondok Bersalin Desa (Polindes), hal ini berarti telah memenuhi 61,60%  dari jumlah desa di Jawa Timur. Walaupun secara kuantitatif jumlah polindes tersebut sudah mencukupi, secara kualitatif kondisinya belum seluruhnya memenuhi syarat sebagai tempat pertolongan persalinan. Hal ini tergambar dari  tingkat perkembangan polindes yang terbanyak masih pada tingkat pratama sebesar 51,88%. Pemenuhan prasarana-sarana Polindes sesuai standar secara bertahap dilakukan dengan dana APBD propinsi, APBD kabupaten/kota, kas desa dan sebagian dari upaya mandiri dari bidan di desa.
Pada saat Hari Kesehatan Nasional Tahun 2006 , Propinsi Jawa Timur telah mulai mengembangkan 5.000 desa siaga yan merupakan wujud kepedulian- kesiapsiagaan masyarakat dalam menanggapi masalah terkait kesehatan , bencana dan kegawatdaruratan yang lain.
         Untuk mendukung upaya pengobatan tradisional di masyarakat hingga tahun 2005 telah ada 23.799  pengobat tradisional yang tercatat,  di mana pada   tahun   2004  hanya   tercatat   22.715  orang.  Dengan demikian rasio pengobat tradisional dibanding penduduk adalah 1 : 1.498.  Pengobat tradisional terbanyak yang tercatat adalah  jamu gendong  sebanyak 6.605 orang (27,77%). Terdapat  3.136 toga percontohan di desa (37,02%) dari seluruh desa di Jawa Timur  tidak ada perbedaan dibandingkan tahun sebelumnya (39,13%). Hal ini menunjukkan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam upaya kesehatan secara tradisional.
Hasil survei Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dengan 10 indikator sesuai SPM (Standar Pelayananan Minimal) menunjukkan 1,78% Rumah Tangga Sehat (tahun 2004), sedangkan pada tahun 2005 meningkat menjadi 7% dan pada tahun 2006 meningkat menjadi 12,2%.
         Pembinaan Kader Generasi Muda melalui gerakan Pramuka Satuan Karya Bakti Husada (SBH) pada tahun 2005  telah berkembang di 293  kecamatan atau kuartir ranting. Jumlah tersebut merupakan 44,8% dari kecamatan di Jawa Timur.  Adapun  jumlah anggotanya sebanyak 24.280  orang atau rata-rata 83 orang di tiap-tiap kuartir ranting. Kegiatan SBH ini utamanya di daerah rural/pedesaan telah secara nyata memberikan sumbangan bagi keberhasilan pembinaan generasi muda di bidang kesehatan.
         Pos Upaya Kesehatan Kerja (UKK) baru mencapai  412 buah  pada tahun 2005 dengan jumlah kelompok sebanyak 17.279 dari  jumlah pekerja 353.477 orang. Hal tersebut menggambarkan rata-rata pekerja dalam satu kelompok berjumlah 20 orang yang idealnya  maksimal 15 orang. Intensitas pembinaan UKK masih dibutuhkan karena masih rendahnya pemahaman masyarakat pekerja terhadap upaya promotif dan preventif kesehatan.
         Dalam memberikan pelayanan kepada para santri di pondok pesantren, pada tahun 2005  telah terbentuk 826 Pos Kesehatan Pesantren (20.2%) dari 4.075 ponpes yang tercatat  di Dinas Kesehatan se-Jawa Timur dimana sebagian  dikelola oleh dokter. Selain itu juga telah dikembangkan Pos Kesehatan Pesantren (Poskestren) yang menjadi pusat upaya – upaya kesehatan di pondok pesantren dengan didukung para Santri Husada.
         Kepesertaan dana sehat sebagai wujud keberdayaan masyarakat dalam kemandirian pembiayaan kesehatan tahun 2005 telah diikuti oleh 1.110.984 jiwa. Gambaran ini menunjukkan masih rendahnya pemahaman, keberdayaan masyarakat dalam penerapan JPKM.
         Seiring dengan perkembangan pembangunan di Jawa Timur tahun 2005 telah tumbuh 203  Lembaga   Swadaya  Masyarakat (LSM)  yang  bergerak di bidang kesehatan serta berbagai yayasan peduli kesehatan seperti Yayasan Kanker Indonesia, Yayasan Jantung Indonesia, Koalisi Jawa Timur Sehat, Kelompok Peduli Diabetes, Kelompok Peduli Kanker, Waria Peduli HIV/ AIDS, Forum Kesehatan Reproduksi serta berbagai kelompok peduli lainnya yang kini mulai berkembang di Jawa Timur.
         Dalam rangka mempercepat tercapainya Indonesia Sehat  pemberdayaan masyarakat dilaksanakan dalam berbagai bentuk gerakan seperti:  Gerdunas TB, Gerakan PSN dengan Jumantiknya, Gerakan Sayang Ibu (GSI) dengan 52,62% kecamatan Sayang Ibu yang  berpredikat  madya, Aliansi Pita Putih (Kesehatan Ibu), BPNA (Badan Penanggulangan Narkotika dan AIDS), Forum Kabupaten / Kota Sehat  dan lain sebagainya.
         Jaringan kemitraan antara sektor pemerintah, organisasi profesi, LSM, swasta dan dunia usaha belum dikembangkan secara optimal, baru terbatas pada penyampaian informasi, belum ada keterpaduan dalam mencapai tujuan yaitu derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.
         Salah satu kendala yang banyak mempengaruhi terhadap belum optimalnya pemberdayaan masyarakat adalah lemahnya tenaga kesehatan yang memiliki kompetensi di bidang promosi kesehatan dan pemberdayaan masyarakat. Saat ini di setiap jenjang pelayanan kesehatan dan administrasi tugas ini dijalankan secara rangkap oleh petugas yang tidak memliki kompetensi standar.


f.       Manajemen Kesehatan
Kebijakan desentralisasi memberikan kewenangan kepada daerah untuk menyusun perencanaan daerah sedangkan propinsi berfungsi sebagai fasilitator. Perencanaan sangat penting artinya untuk suatu keberhasilan pembangunan kesehatan, namun saat ini belum terkoordinasi dan tersinkronisasi dengan baik. Pada kenyataannya perencanaan belum sepenuhnya terpadu dan mengacu kepada kebijakan yang berlaku dan kebutuhan spesifik daerah. Pencapaian kinerja pembangunan kesehatan pelaksanaan dan pengendaliannya belum mengacu pada perencanaan yang telah disusun dan SPM Kesehatan Kabupaten/Kota.
         Laporan dari masing-masing kabupaten/kota belum semuanya dapat dipenuhi, secara kuantitas maupun kualitas karena dalam era desentralisasi tidak ada kewajiban kabupaten/kota untuk menyampaikan laporan ke Dinas Kesehatan Propinsi.
         Pengawasan Melekat (Waskat), Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), sebagai bagian pertanggungjawaban pembangunan kesehatan belum dilakukan secara optimal.
Sistem informasi kesehatan masih terfragmentasi dan identik dengan pencatatan dan pelaporan, dimana banyak sekali format pencatatan dan pelaporan yang harus dikerjakan oleh puskesmas dan rumah sakit. Profil kesehatan kab/kota  maupun propinsi sudah berjalan sejak tahun 1990, namun belum dimanfaatkan secara maksimal sebagai dasar pengambilan keputusan. Inpres RI. No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan  dan Strategi Nasional Pengembangan E-Goverment untuk mendukung upaya pemanfaatan teknologi informasi diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, transparansi, serta akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan. Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 36 Tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Sistem Informasi dan Telematika Propinsi Jawa Timur adalah upaya untuk mempercepat pengembangan sistem informasi berbasis komputer. Dinas Kesehatan Propinsi sedang mengembangkan jaringan sistem informasi internal maupun eksternal melalui teknologi informasi (file transfer protokol, Website, LAN) dan penetapan perangkat data minimal pada setiap jenjang administrasi.
Penelitian dan pengembangan Iptek belum dilaksanakan secara optimal dan hasilnya belum dimanfaatkan untuk perencanaan  pengembangan program, karena penelitian dan pengembangan kesehatan dilakukan oleh berbagai program dan sektor yang belum terkoordinasi. Disamping itu pengelolaan dan penyebarluasan hasil penelitian masih terbatas, karena terbatasnya sumber daya sehingga sulit diakses oleh pihak yang membutuhkan.
Kebijakan otonomi daerah berakibat adanya perubahan kewenangan daerah di bidang kesehatan, sehingga memerlukan penyesuaian produk hukum daerah (Perda) untuk mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan.  Adanya kecenderungan gugatan dan tuntutan hukum berkaitan dengan penyelenggaraan pelayanan kesehatan, karena belum dilakukan penyuluhan di bidang hukum kesehatan yang memadai.
Ketidaksesuaian produk hukum daerah di bidang kesehatan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat diakibatkan karena belum   adanya   jaringan   informasi   dan   dokumentasi   hukum  bidang kesehatan yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam penyusunan produk hukum di bidang kesehatan.
   Penegakan hukum di bidang kesehatan belum dapat dilaksanakan secara optimal, karena belum berfungsinya peran Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan belum adanya badan khusus yang menangani.





















 





No comments:

Post a Comment